Halaman

Total Tayangan Halaman

Selasa, 16 November 2010

20 prinsip

PRINSIP KE-2
“Al-Quran dan Sunah yang suci merupakan rujukan setiap Muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam.”

Al-Quran asalnya adalah bentuk mashdar dari kata kerja Qara-a. Allah Swt. berfirman,
baca selengkapnya..
20 Prinsip
PRINSIP KE-3 
“Iman yang tulus, ibadah yang benar dan mujahadah akan membuahkan cahaya dan kelezatan yang Allah percikan ke dalam hati siapa saja yang la kehendaki. Akan tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf, dan mimpi tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”
Iman yang benar berarti mengikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan beramal dengan anggota badan. Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata, “Kesepakatan para sahabat, tabi’in, dan generasi sesudah mereka yang kami ketahui, mengatakan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan, dan niat, salah satu di antara ketiganya tidak mencukupi kecuali dengan yang lain.” Imam Ahmad berkata, “Karena itu, menurut ahlusunah ungkapan yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan dan perbuat termasuk syiar-syiar Sunah.”
Nash-nash Al-Quran dan hadits yang menunjukkan pengertian di atas sangat banyak dan terkenal. Mereka sepakat bahwa orang yang mengikrarkan keimanan dengan lisannya secara nyata, namun mendustakan dengan hatinya, tidak termasuk mukmin. Orang seperti inilah yang disebut munafik, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya, Dan di antara sebagian manusia ada segolongan yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir." Padahal mereka tidak termasuk orang-orang yang beriman (Al-Baqarah: 8 ). Dalam firman-Nya yang lain Allah menjelaskan bahwa bagi mereka disediakan azab yang lebih berat daripada orang yang jelas-jelas menentang (kufur), dengan memasukkan mereka pada tingkatan neraka yang paling rendah, Sesungguhnya orang-orang munafik berada pada tingkatan yang paling rendah dari neraka (An-Nisa‘: 145).
Para ulama sepakat bahwa pengakuan dengan hati saja tidak cukup untuk merealisasikan makna iman. Karenanya, pengakuan harus diikuti ikrar dengan lisan. Fir’aun dan kaum-nya mengakui kebenaran Musa dan Harun a.s. namun mereka adalah kafir. Allah Swt. berfirman tentang perkataan Musa kepada Fir’aun, Sesungguhnya kamu (Fir’aun) telah mengetahui bahwa tidak ada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu, kecuali Tuhan Yang Memelihara langit dan bumi sebagai bukti yang nyata (Al-Isra’: 102). Orang-orang Ahli Kitab dahulu mengenal dan mengakui Nabi kita Saw., namun mereka tidak beriman kepadanya. Allah berfirman, Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mengenal-nya (Muhammad) sebagaimana mengenal anak-anak mereka sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka tidak beriman (Al-An’am: 20). Bahkan iblis juga mengenal Allah, tetapi ia tetap menjadi pemimpin orang-orang kafir.
Para ulama sepakat bahwa apabila seorang hamba telah membenarkan dengan hatinya, dan mengikrarkan dengan lisannya, namun menolak untuk beramal, maka ia termasuk orang yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan berhak mendapatkan ancaman siksa yang Allah sebutkan dalam kitab suci-Nya dan diberitahukan oleh Rasul-Nya Saw. Selain itu, ia juga mendapat hukuman di dunia.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ahlusunah bahwa dengan melihat rahmat dan janji Allah, iman yang mencakup pembenaran, pernyataan, dan amal menjadikan seseorang masuk surga dan tidak kekal di neraka.
Sedangkan menurut pandangan hukum dunia, iman adalah cukup dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat. Siapa yang mengikrarkan keduanya diberlakukanlah hukum dunia kepadanya. la dituntut komitmen dengan konsekuensi-konsekuensinya, mendapat hak-haknya, dan ia tidak dihukum sebagai kafir, kecuali apabila melakukan ucapan maupun perbuatan yang merusak syahadatnya. Prinsip ini didasarkan kepada sabda Rasulullah Saw., Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Jika mereka mau mengatakannya, artinya mereka telah menjaga darah dan harta-harta mereka dari (tindakan)ku kecuali dengan haknya (HR. Muslim).
Jika Anda telah memahami ini, maka ketahuilah bahwa iman yang benar adalah mencakup ketiga makna di atas, tanpa terpisah-pisah. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah, Mereka itulah orang-orang yang benar (Al-Hujurat: 15).
Ibadah yang benar adalah buah dari keimanan yang benar. Para ulama mendefinisikan bahwa ibadah adalah sebuah kata yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai Allah, berupa ucapan dan perbuatan lahir maupun batin. Ibadah adalah tujuan yang dicintai dan diridhai Allah Swt. dan untuk itulah Allah menciptakan makhluk-Nya, Sesungguhnya Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah-Ku (Adz-Dzariyat: 56). Untuk tujuan itu pula Allah mengutus rasul-rasul-Nya, Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah taghut itu,” maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya (An-Nahl: 36). Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu,. melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiya’: 25) Allah menjadikan ibadah itu sebagai sesuatu yang harus tetap dilakukan oleh Rasul-Nya sampai mati. Allah berfirman, Dan sembahlah Tuhanmu hingga datang al-yaqin (kematian) (Al-Hijr: 99).
Secara keseluruhan, agama termasuk ibadah berdasarkan hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Hanya, ibadah yang diperintahkan mencakup dua makna sekaligus, yaitu kerendahan dan kecintaan. Ibadah mengandung makna puncak kehinaan dan kecintaan kepada Allah Swt., Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai A-lah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik (At-Taubah: 24).
Jika ibadah yang benar adalah ibadah yang mencakup makna-makna di atas, maka ibadah itu tidak benar dan tidak diterima di sisi Allah apabila belum dilakukan oleh hamba sesuai dengan syariat Allah. Demikian itu karena Allah tidak menerima amal perbuatan maupun ucapan, kecuali yang disyariatkan dan diperintahkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Swt. tidak akan menerima ibadah-ibadah baru yang diada-adakan oleh hamba-hamba-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, Barangsiapa membuat hal-hal yang baru (yang tidak termasuk) dalam agama kami, maka ia tertolak. Dalam riwayat lain, Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dalam ajaran agama kami, maka ia tertolak. Dalam riwayat yang lain, Sesungguhnya setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dhalalah (sesat).
Ibadah yang benar tidak mungkin diwujudkan dan dicapai kecuali dengan mujahadatun nafs wal hawa (bersungguh-sungguh mengendalikan diri dan memerangi nafsu). Allah Swt. berfirman, Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar menyertai orang-orang yang berbuat baik (Al-’Ankabut: 69). Orang yang memahami ayat ini secara proporsional, tepat, mengetahui maknanya, dan mengamalkan konsekuensinya, akan memperoleh kebaikan yang sangat banyak.
Rasulullah telah menjelaskan hakikat mujahadah ini dengan sabdanya, Mujahid adalah seseorang yang berjihad melawan diri dan hawa nafsunya (HR. Ahmad). Berjihad melawan diri adalah mengarahkannya kepada perintah Allah dalam segala hal, di antaranya berjihad melawan setan dan musuh.
Langkah pertama dalam mujahadah adalah beriman kepada Allah, mengesakan-Nya, dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad Saw. Dalam lingkungan Islam terkadang orang tidak menyadari bahwa masalah ini termasuk dalam bab mujahadah, sehingga ia tidak perlu menyebutnya. Ini jelas kesalahan besar. Sesuatu yang paling besar adalah jika seseorang mampu beralih dari kekafiran menuju keimanan atau menyatakan imannya pada lingkungan yang menentang iman dan melecehkan pemeluknya. Allah berfirman, Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya (At-Taghabun: 11). Langkah kedua adalah menjalankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan waktunya, seperti: shalat, puasa, zakat, haji, nikah, bermuamalah, dan lain-lain. Langkah yang ketiga adalah secara tertib menjalankan ibadah-ibadah sunah, berupa: shalat, sedekah, puasa, haji, doa, zikir, dan membaca Quran. Selanjutnya langkah keempat adalah mengendalikan diri untuk selalu melaksanakan hal-hal yang bersifat azimah (ibadah-ibadah dalam bentuknya yang ideal) serta mentarbiahkannya dengan amal-amal berat yang bermanfaat, seperti: khalwat (menyendiri), diam kecuali dalam hal-hal yang mewajibkan berbicara, begadang malam untuk beribadah, shalat, tilawah, zikir, lapar karena melakukan puasa pada hari-hari yang disunahkan, dan amal-amal lain yang disyariatkan. Langkah kelima adalah perenungan diri, hati, menyingkap penyakit-penyakit hati, dan mengobatinya. Inilah langkah terakhir dalam mujahadah, sekaligus merupakan salah satu hasilnya yang utama. Dua langkah terakhir inilah yang mendominasi pembahasan dan pembicaraan banyak kalangan tentang mujahadah.
Iman yang benar lagi sempurna, ibadah yang sahih sesuai dengan petunjuk syara’, dan mujahadah yang terbingkai dengan kaidah dan ajaran syara’, akan menghasilkan pengaruh besar yang tampak pada diri manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Syahid Hasan Al-Hanna, "…cahaya dan kenikmatan yang Allah percikan ke dalam hati siapa saja, yang la kehendaki di antara hamba-hamba-Nya." Cahaya (nur) adalah hal yang diisyaratkan dalam firman Allah Swt., Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu ia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan (Al-An’am: 122).
Hakikat dan pengaruh iman telah diungkapkan oleh Sayid Qutub dalam tafsirnya, “Seseorang akan mendapati cahaya ini didalam hatinya, sehingga ia mendapatkan kejelasan dalaim segala urusan, hal, dan kejadian. Mendapatkan kejelasan dalam jiwa, dan niat-niatnya, lintasan-lintasan hatinya, langkah, serta geraknya. Mendapatkan kejelasan dalam segala hal yang terjadi di sekitarnya, baik yang berupa sunatullah, aktivitas-aktivitas manusia, niat, dan langkah-langkah mereka, yang tampak maupun yang tersembunyi. Mendapatkan tafsir berbagai peristiwa dan sejarah dalam jiwa dan akalnya, serta dalam realitas kehidupan di sekitarnya, seakan-akan ia membaca buku. Seseorang yang telah mendapatkan cahaya ini dalam hatinya akan mendapatkan kecemerlangan dalam lintasan-lintasan hati, perasaan, dan kemauannya, sehingga ia pun mendapatkan kenikmatan dan kesejukan dalam hati, suasana, dan masa depannya. Ia akan mendapatkan kelembutan dan kemudahan dalam mengatur segala urusan dan mengeluarkan keputusan, serta dalam menghadapi maupun melewati kejadian. Ia akan mendapatkan ketenangan, kepercayaan, dan keyakinan dalam segala situasi dan kapan pun juga.” ‘"
Cahaya yang mempunyai pengaruh luas dalam diri manusia dan menghasilkan banyak hal menakjubkan yang tampak dalam kehidupan seorang mukmin yang tercerahkan ini, kemungkinan terbentuknya telah ditunjukkan oleh Al-Quran dan Sunah, dinyatakan oleh para ulama, dan didukung oleh kejadian-kejadian yang nyata. Karena itu Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah menyebutkannya dalam prinsip ini sebagai pengakuan akan kebenarannya, sekaligus memberi bingkai syar’i agar orang-orang yang tidak mendapatkan pencerahan dari sumber-sumbernya, karena hanya mendapat bisikan nafsu dan inspirasi setan, tidak melampaui batas.
Pada kesempatan yang sama, beliau tidak mengabaikan hal-hal yang memang seharusnya dikatakan, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami syariat dan tidak mengetahui dalil-dalil yang benar. Karena itu Imam Syahid mengatakan, “Akan tetapi ilham, lintasan hati, kasyaf, dan mimpi tidak termasuk dalil-dalil syar’i dan tidak pula diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya.”
Agar kebenaran dalam masalah ini menjadi jelas, harus diberi keterangan dan penjelasan. Karena itu, kami coba terangkan:
Pertama, ilham
Ilham adalah pengaruh yang Allah berikan dalam jiwa seseorang sehingga mendorongnya untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. la merupakan salah satu jenis wahyu yang Allah khususkan bagi siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Ia kehendaki. 
Allah Swt. berfirman,
Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya (Asy-Syams: 7-8).
Rasulullah Saw. berdoa,
Ya Allah ilhamkanlah kepadaku kebenaran dan lindungilah akim dari keburukan jiwaku (HR. Turmudzi). 
Ilham lebih umum daripada tahdits karena ilham berlaku umum bagi orang-orang yang beriman sesuai dengan tingkat imannya. Setiap mukmin mendapatkan ilham kebenaran dari Allah Swt. sesuai dengan tingkat keimanannya. Adapun tahdits, Rasulullah Saw. telah menjelaskan dalam sabdanya, ”Jika ada orang yang muhadats[1] dari umatku, maka Umar-lah orangnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bentuk ilham yang banyak dikenal, antara lain berupa pesan yang diberikan ke dalam hati seorang mukmin, melalui pembicaraan malaikat dengan ruhnya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Nabi Saw. bersabda, Sesungguhnya malaikat mempunyai hasrat di hati anak Adam, demikian juga setan. Hasrat malaikat berupa ajakan untuk kebaikan dan membenarkan ancaman Allah Swt., sedangkan hasrat setan adalah ajakan untuk melakukan kejahatan dan mendustakan janji Allah, – kemudian beliau membaca firman Allah – "Setan itu menjanjikan kefaqiran kepadamu dan memerintahkan perbuatan yang keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan anugerah kepadamu.” (HR. Turmudzi). 
Allah Swt. berfirman, (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “ Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” (Al-Anfal: 12).
Sebebagian ulama menafsirkan ayat ini dengan "Wahai malaikat kuatkanlah hati orang-orang yanng beriman dan berilah kabar gembira kepada mereka dengan kemenangan.” Sebagian yang lain mengatakan, “Hadirlah wahai malaikat bersama orang-orang mukmin di medan perang.” Kedua penafsiran itu sama-sama benar, karena malaikat memang hadir bersama orang-orang mukmin di medan perang dan meneguhkan hati
mereka. Termasuk kategori pesan ini adalah nasihat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada hati hamba-hambanya yang mukmin, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan Imam Ahmad dari sahabat Nawwas bin Sam’an dari Nabi Muhammad Saw. Bahwa beliau bersabda, Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan berupa sebuah jalan yang lurus. Pada kedua sisi jalan tersebut terdapat dua dinding yang masing-masing mempunyai pintu yang terbuka. Pada masing-masing pintu terdapat gorden, ada penyeru di ujung jalan, dan ada pula penyeru di atas jalan. Jalan yang lurus adalah Islam, kedua dindingnya adalah batas-batas Allah, dan pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak ada
seorang pun yang melanggar suatu batas di antara batas-batas Allah, kecuali bila ia menyingkap gorden itu. Penyeru yang berada pada ujung jalan adalah Kitabullah, sedangkan penyeru yang berada di atas jalan adalah penasihat dari Allah dalam hati orang yang beriman. Penasihat yang ada dalam hati orang-orang yang beriman itulah ilham Ilahi dengan perantaraan malaikat.  
Termasuk ilham adalah firasat, yaitu cahaya yang Allah berikan ke dalam untuk membedakan antara haq dan batil dan antara yang jujur dan dusta. Allah berfirman, Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi mutawasimin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda) (Al-Hijr: 75). Menurut Mujahid r.a. yang dimaksud mutawasimin adalah mutafarisin (orang-orang yang diberi firasat). Imam Turmudzi meriwayatkan dari Abi Sa’id r.a. dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Takutlah kalian kepada firasat orang mukmin, karena ia memandang dengan cahaya Allah Azza wa Jalla. Kemudian beliau membaca, “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi mutawasimin (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda)." (Al-Hijr: 75).
Firasat ada tiga macam:
1. Firasat imaniyah, yaitu firasat orang-orang yang beriman. Jenis ini selalu tegak di atas kebenaran.
2. Firasat riyadhiyah, ialah firasat yang dihasilkan melalui lapar, begadang, dan menyendiri. Demikan itu terjadi karena jiwa terbebas dari penghalang-penghalangnya, maka firasat dan kasyaf akan didapatkan sesuai dengan tingkat kebebasan-nya dari penghalang tersebut.
3. Firasat khalqiyah, ialah firasat yang para dokter menulis tentangnya. Mereka mencoba menghubungkan antara sifat-sifat fisik dengan sifat-sifat psikis karena memang ada kaitan yang dikehendaki hikmahnya oleh Allah. 
Dua jenis firasat yang terakhir ini bisa dimiliki oleh siapa saja, baik mukmin maupun kafir, tidak menunjukkan keiman-an dan kewalian, serta tidak menyingkap tentang kebenaran yang bermanfaat maupun jalan yang lurus. ‘”
Kedua, khawathir
Khawathir jamak khatir yaitu sesuatu yang terlintas dalam hati berupa rencana atau perintah. Apabila baik, maka itu merupakan bagian dari cahaya dan pengaruh iman, serta petunjuk adanya taufik dari Allah. Namun apabila sebaliknya, maka ia merupakan tipu daya dan bisikan setan, sebagaimana disebutkan dalam hadits sujud sahwi, Hingga setan melintas antara seseorang dan hatinya, dan dalam hadits Ibnu Abbas r.a., Ketika Nabi berdiri untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba melintas suatu lintasan dalam hatinya. Maka orang-orang munafik pun mengomentari bahwa beliau mempunyai dua hati. 
Ketiga, kasyaf
Imam 1bnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Mukasyafah yang benar adalah ilmu-ilmu yang Allah munculkan di hati hamba-Nya. Dengan ilmu itu Allah Swt. memperlihatkan kepadanya hal-hal yang tersembunyi bagi orang lain. Terkadang Allah Swt. membantu seseorang untuk memilikinya, tapi terkadang menghalanginya dengan membuatnya lupa dan menyembunyikannya dari orang itu dengan kabut yang membuat hatinya keras, itulah setipis-tipis penghalang. Dengan mendung yang lebih tebal dari kabut, atau dengan tutup yang menjadi penghalang paling tebal.”
Penghalang paling tipis terkadang dialami oleh para nabi a.s. Sebagaimana sabda Nabi Saw., Sesungguhnya hatiku berkabut dan sesungguhnya aku beristigfar kepada Allah sebanyak seratus kali dalam sehari (HR. Muslim). 
Penghalang yang berupa mendung terjadi pada orang-orang mukmin. Sedangkan penghalang yang berupa tutup terjadi pada orang-orang yang didominasi oleh kemalangan. Allah Swt. berfirman, Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka (Al-Muthafifin: 14). Ibnu Abbas dan lainnya mengatakan bahwa ia adalah dosa dan dosa menutupi hati hingga menjadi tertutup seluruhnya.
Kasyaf yang benar adalah jika seorang Muslim mengetahui kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw. dan diturunkan dalam kitab-kitab suci secara jelas dalam hatinya. Kemudian ia dedikasikan kehendak hatinya kepadanya dan senantiasa bersamanya dalam segala kondisi. Inilah kesimpulan yang benar, bila tidak demikian maka itu adalah tipuan yang buruk. Demikian itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan mukasyafat hati, salah satu sumber kasyaf ketika hati jernih, berjalan di atas jalan yang lurus, serta menjauhi bid’ah dan kesesatan. Adapun kasyaf penglihatan dan pendengaran, yang dimaksud oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam prinsip ini, Ibnu Qayyim rahimahullah telah mengklasifikasikannya menjadi tiga jenis: kasyaf rahmani, yang khusus bagi orang-orang yag beriman, kasyaf nafsani, dan kasyaf syaithani, yang dijelaskan dalam pernyataannya, “Adapun kasyaf juz’i yaitu yang dapat dimiliki oleh orang-orang mukmin dan orang-orang kafir, juga oleh orang-orang baik maupun orang-orang jahat, seperti: mengetahui apa yang ada di rumah seseorang, tongkat di tangannya, di bawah pakaiannya, atau jenis kelamin janin yang ada dalam kandungan istrinya. Adapun yang tidak terlihat oleh seorang hamba berupa hal-hal yang sangat jauh, terkadang berasal dari setan atau dari dirinya sendiri. Karena itulah, maka hal itu bisa terjadi pada orang-orang kafir, seperti orang-orang yang melakukan kemaksiatan, penyembah api, dan salib. 
Ibnu Shayyad dapat mengetahui apa yang disembunyikan oleh Nabi, kemudian Rasulullah Saw. berkata kepadanya, "Engkau ini hanyalah sebagian dari teman para dukun." Nabi menerangkan bahwa kasyaf yang dimilikinya termasuk kasyaf perdukunan dan hal itu mungkin. Demikian pula Musailamah Al-Kadzab, betapapun kekafiran yang dilakukannya, ia mampu menceritakan kepada para pengikutnya tentang apa yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka di rumahnya, dan apa yang dikatakannya kepada istrinya. Setanlah yang memberikan kabar kepadanya, untuk menyesatkan manusia. Demikian pula Al-Aswad Al-Unsi dan Harits Al-Mutanabbi yang memberontak pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan, serta orang-orang semisal mereka yang hanya diketahui oleh Allah. Kita telah mengetahui dan orang-orang juga telah menyaksikan kasyaf dari para pendeta penyembah salib.
Contoh kasyaf rahmani adalah kasyaf dari Abu Bakar r.a., ketika beliau berkata kepada Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya istrinya mengandung janin perempuan. Kasyaf Umar r.a. ketika beliau berkata, “Wahai pasukan naiklah ke gunung.” Kasyaf-kasyaf ini termasuk kasyaf para wali Allah.  
Kesimpulannya, Said Hawwa menjelaskan bahwa kasyaf adalah sesuatu yang mungkin terjadi, orang-orang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Allah dapat mencapainya. Ia merupakan salah satu wujud anugerah Allah Swt. sekaligus sebagai ujian dari-Nya. Tapi kita semua komitmen dengan nash, bukan dengan kasyaf. Kasyaf tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk menetapkan keyakinan baru dan tidak pula untuk menambah nash-nash yang ada. Umat tidak diwajibkan beribadah dengannya. Mereka tidak harus mempercayai pemiliknya, walaupun ia termasuk orang yang jujur. Hal itu karena hatinya tidak ma’shum berkaitan dengan masalah gaib. Selain itu, kemungkinan terjadi ilusi juga sangat besar. Karena kasyaf terkadang menjadi ujian bagi seseorang atau sekelompok orang, maka ia kadang menurunkan derajatnya.
Dengan batas-batas ini, jelaslah kedudukan kasyaf dalam syariat Allah, dan kita memahami maksud dari ungkapan Imam Syahid Al-Banna rahimahullah bahwa ia tidak termasuk dalil-dalil hukum syar’i dan tidak diperhitungkan (dianggap), kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nashnya. 
Keempat, mimpi-mimpi dalam tidur
Jika benar, ia merupakan salah satu pengaruh iman dan tingkatan hidayah. la termasuk bagian dari kenabian, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Mimpi yang baik adalah bagian dari empat puluh enam bagian nubuwah (Shahih Bukhari dan Muslim).
Mimpi adalah permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada kejujuran orang yang bermimpi. Orang yang paling benar mimpinya adalah orang yang paling jujur perkataannya. Ketika zaman semakin dekat, hampir tidak ada kesalahan dalam mimpi yang baik, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Saw, Demikian itu karena semakin jauhnya masa dari kenabian dan pengaruhnya. Karena itu, orang-orang mukmin mengambil ganti dengan mimpi. Adapun pada masa kuatnya cahaya kenabian, dengan cahayanya yang terang, menjadikan mereka tidak membutuhkan mimpi-mimpi itu. Nabi Saw. bersabda, Tidak ada lagi bagian dari nubuwah selain mubasyirat. Ada yang bertanya, ”Apa itu mubasyirat, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Ia adalah mimpi baik yang dialami sendiri oleh seorang Muslim atau diimpikan oleh orang lain." (HR. Bukhari). 
Jika mimpi-mimpi kaum Muslimin sama, maka tidak dapat didustakan. Nabi telah mengatakan kepada para sahabatnya ketika mereka bermimpi melihat lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Beliau Saw. bersabda, Saya melihat mimpi kalian sudah saling memperkuat bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Karena itu, barangsiapa di antara kalian yang hendak mencari-carinya maka lakukanlah pada sepuluh hari terakhir (HR. Bukhari).
Sebagaimana kasyaf, mimpi juga terbagi menjadi tiga bagian: rahmani, nafsani, dan syaithani. Nabi Saw. bersabda, Mimpi ada tiga, yaitu mimpi dari Allah, mimpi penyedihan setan, dan mimpi dengan melihat kembali apa yang pernah terjadi pada dirinya saat ia terjaga. 
Mimpi yang menjadi sebab datangnya petunjuk adalah mimpi yang khususnya datang dari Allah. Mimpi para nabi adalah wahyu, karena mimpi ini terpelihara dari setan. Inilah yang diyakini oleh umat. Karena itulah maka nabiyullah Ibrahim a.s. melaksanakan perintah menyembelih putranya, Ismail berdasarkan mimpi itu.
Adapun mimpi selain para nabi, disesuaikan dengan wahyu yang jelas. Jika sesuai, bisa diterima. Jika tidak, tidak boleh diamalkan. Apabila ditanyakan, "Bagaimana pendapat kalian tentang mimpi yang baik atau mimpi-mimpi orang banyak yang sepakat atas sesuatu?” Kami menjawab, “Jika memang demikian, maka tidak mungkin menyalahi wahyu, bahkan pasti sesuai dengannya, untuk menyadarkannya atau menyadarkan akan masuknya suatu permasalahan khusus dalam hukum wahyu, sedangkan orang yang bermimpi tidak menyadari bahwa hal itu termasuk di dalamnya, sehingga dengan mimpi itu ia menjadi tersadarkan.”’ 
Selanjutnya kaum Muslimin sepakat bahwa mimpi bagi selain para nabi tidak boleh dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan. Jika mereka bertanya, “Apabila seseorang bermimpi melihat Nabi Saw. padahal setan tidak mungkin menyerupainya, kemudian beliau Saw. memerintahkan suatu hal yang bertentangan dengan syariat’?” Kita katakan kepadanya, “Engkau sedang berangan-angan.” Ia tidak boleh bertindak berdasar mimpinya itu, apalagi mimpi-mimpi yang lain?
Barangsiapa menginginkan mimpi yang benar, maka hendaklah ia berusaha untuk selalu jujur, makan yang halal, memperhatikan perintah dan larangan, tidur dalam keadaan suci sepenuhnya, menghadap kiblat, dan zikir kepada Allah hingga tertidur. Jika demikian, insya Allah mimpinya tidak berdusta. 
Mimpi yang paling benar adalah mimpi pada waktu sahur, karena saat itu merupakan waktu turunnya Allah ke langit dunia, saat dekatnya rahmat dan ampunan, serta diamnya setan-setan. Kebalikannya adalah mimpi pada sepertiga malam yang pertama, saat setan-setan dan ruh-ruh syaithaniyah bergentayangan. Ubadah bin Shamit r.a. berkata, “Mimpi seorang mukmin adalah kalam Allah kepada hamba-Nya pada waktu tidur.”
Kesimpulannya, ilham, khawathir, kasyaf, dan mimpi merupakan pengaruh cahaya iman, jika keluar dari seorang mukmin yang jujur. Banyak bukti-bukti lahiriah dan pengalaman batin yang menguatkan akan hal itu. Ia adalah karamah dari Allah bagi mereka, di samping juga merupakan ujian untuk menguji keteguhan dan konsistensi dalam keimanan. 
Meskipun demikian, sebagaimana dikatakan oleh Imam. Syahid Al-Banna rahimahullah, ia bukan termasuk dalil-dalil hukum syar’i, karena dalil-dalil hukum syar’i disyaratkan bahwa sumbernya ma’shum, sementara di sini tidak ada ke-ma’shum-an, karena tidak ada ke-ma’shum-an yang dapat ter-bukti secara syar’i berdasarkan firman Allah dan sabda Rasul Saw., atau berdasarkan ijmak kaum Muslimin. Padahal di sini tidak ada sedikit pun dari semua itu.
Meskipun demikian, apabila karamah-karamah itu berasal dari Allah Swt. maka tidak mungkin bertentangan dengan syariat. Adapun jika berasal dari diri sendiri dan setan, maka ia tidak dapat dipercaya, karena sedikit sekali yang sesuai dengan syariat atau konsisten pada masalah yang diridhai. Imam Syahid mengatakan, “Semua karamah itu tidak dianggap, kecuali dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama dan nash-nash-nya.” Wallahu a’lam. 
Kenikmatan yang lahir dari keimanan dan kesahihan ibadah, serta mujahadah yang baik, adalah kenikmatan hakiki yang dirasakan oleh jiwa orang yang beriman, sebagaimana lidah merasakan lezatnya makanan, seperti disebutkan dalam banyak hadits-hadits sahih, di antaranya sabda Rasulullah Saw., Akan merasakan lezatnya iman orang yang ridha bahwa Allah sebagai Tuhan-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw. sebagai rasulnya (HR. Muslim). Tiga hal, barangsiapa seluruhnya ada dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan nikmatnya iman.
Dalam riwayat lain, akan merasakan nikmatnya iman, orang yang lebih mencintai Allah dan Rasul-Nya daripada selain keduanya, jika seorang mencintai sahabatnya, ia tidak mencintai-nya kecuali karena Allah Swt., dan tidak mau kembali kepada kekafiran setelah Allah Swt. menyelamatkan diri darinya, sebagaimana ia tidak mau dimasukkan dalam neraka. 
Para ulama berkata, “Makna kenikmatan iman adalah merasa nikmat dalam melakukan ketaatan dan memikul beban dalam mencari keridhaan Allah dan Rasul-Nya, lebih mengutamakan hal itu daripada tujuan-tujuan duniawi, kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya Swt. dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan meninggalkan kedurhakaan terhadap-Nya, di samping juga mencintai Rasulullah Saw.”
Menurut saya, semua itu tidak mungkin dicapai kecuali oleh orang yang hatinya telah bersenyawa dengan iman, sehingga kenikmatan iman mampu mendominasi hatinya. Karena itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa iman memberikan kenikmatan yang berkaitan dengan rasa dan selera. Keraguan dan syubhat tidak akan hilang dari hati, kecuali apabila seseorang telah mencapai keadaan seperti ini. Iman benar-benar telah bersenyawa dengan hatinya, hingga ia merasakan kelezatannya dan menemukan kenikmatannya.”’ 
Rasa inilah yang dijadikan Heraclius sebagai dalil akan benarnya kenabian, saat ia bertanya kepada Abu Sufyan, "Adakah seorang di antara pengikut Muhammad yang murtad karena marah kepada agamanya?” “Tidak," jawab Abu Sufyan. Heraclius pun berkomentar, “Demikianlah iman, ketika ia telah bersenyawa dengan keceriaan hati."
Kenikmatan hakiki yang selalu bergelora inilah yang telah dibuktikan oleh para sahabat r.a., salafusaleh, dan orang-orang yang melakukan interaksi yang benar dengan Allah Swt. serta dengan agama-Nya yang terakhir. Jika kami hendak memuat contoh-contohnya, tentu akan menghabiskan buku berjilid-jilid. Kami cukupkan dengan tiga contoh saja dari tiga orang sahabat yang telah mengungkapkan hakikat kenikmatan itu, sebab berbagai pengorbanan yang telah mereka lakukan. Mereka itu adalah:
1. Bilal bin Rabah r.a.
Ketika disiksa diterik panas matahari untuk memaksanya kafir, sementara ia hanya bisa mengucap, “Ahad, Ahad.” Ia campur pahitnya siksaan dengan manisnya iman. Ia telah bersenyawa dengan kenikmatan iman. Demikian juga saat menjelang kematiannya, ketika keluarganya mengatakan alangkah susahnya, tapi beliau sendiri justru mengatakan, duhai alangkah senangnya karena besok saya akan menjumpai kekasih-kekasihku, Muhammad dan para sahabatnya. Bercampurlah pahitnya kematian dengan nikmatnya pertemuan itu, itulah kenikmatan iman.
2. Seorang sahabat yang kudanya dicuri pada suatu malam, saat ia sedang shalat. Ia melihat saat pencuri itu mencuri kudanya, namun ia tidak memutuskan shalatnya. Ketika ditanya tentang hal itu ia menjawab, “Apa yang sedang aku lakukan lebih besar dari itu.” Ini tidak lain karena kenikmatan iman.
3. Dua orang sahabat yang diperintahkan Rasulullah Saw. sebagai penjaga malam pada sebuah peperangan. Salah seorang tidur, sedangkan yang lain menunaikan shalat. Tiba-tiba ada mata-mata dari pihak musuh datang. Melihatnya, mata-mata itu melepaskan anak panah dan mengenainya. Namun demikian sahabat ini tetap meneruskan shalatnya dan tidak menghentikannya. Mata-mata itu melepaskan panah yang kedua dan mengenainya pula, namun ia tidak memutuskan shalatnya. Kemudian dilepaslah kepadanya anak panah yang ketiga dan mengenainya. Pada panah yang ketiga inilah ia baru membangunkan sahabatnya. Ia berkata “Kalaulah bukan karena kekhawatiranku terhadap keselamatan kaum Muslimin, tentu aku tidak menghentikan sholat-ku.” Hal itu tidak dilakukannya kecuali karena besarnya kenikmatan yang ia rasakan dalam shalat, hingga menghilangkan rasa sakit akibat anak panah yang mengenai dirinya. –



[1] Muhadats: orang yang benar dugaannya seolah-olah ada yang membisikinya.– edt.

——-
Detil referensi berupa kitab-kitab yang dijadikan rujukan khususnya yang memuat hadits-hadits dan perkataan ulama, tersedia pada buku yang berjudul: Syarah Ushul ‘Isyrin, Menyelami Samudra 20 Prinsip Hasan Al-Banna, karya Abdullah bin Qasim Al-Wasyli, Cetakan ke-2, Era Intermedia, Solo, Indonesia, 2005

Tidak ada komentar: